Tiada Hari Tanpa Ber-Istighfar dan Bersykur

Allah SWT dalam aqidah islam

PENDEKATAN BAHASAN
Saya tidak akan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang digunakan
oleh alim ulama yang ahli dalam bidang Ilmul-Kalam, dan juga saya tidak akan
mengharungi dalam teori-teori yang bercorak falsafah atau cara-cara mantik
yang biasa digunakan oleh ulama Mutakallimun ketika mereka memperkatakan
maudu’-maudu’ yang seperti ini, tetapi saya akan terus merujuk kepada Al-
Quranul-Karim dan kepada As-Sunnah Al-Mutahharah dan kepada apa yang
kita ketahui daripada sirah perjalanan golongan mu’min dalam peringkat
permulaan dahulu, kerana mereka itu tidak syak lagi adalah manusia yang
paling bersih dan segi kejadian, dan mempunyai hati yang lembut, mempunyai
tanggapan yang halus terhadap soal-soal agama, dan lebih mengetahui dengan
penggunaan lafaz-lafaz, rangkaikata-rangkaikata dan susunan-susunan ayat
AlQuran dan Al-Hadis, mereka juga memiliki kemanisan citarasa menganggap
sehalus-halus makna dan perasaan-perasaan. Justeru itu, jadilah mereka sebagai
contoh yang sempurna bagi orang-orang Islam seluruhnya.

Apa Artinya Anda Sebagai Muslim

Ada beberapa kalimah yang sering bermain di bibir setiap orang, kecil atau besar, tetapi
tidak ramai di kalangan mereka yang memahami dengan mendalam dan sungguhsungguh
akan pengertian kalimah-kalimah itu.
Dan oleh kerana terlampau banyak dipertuturkan maka dengan sendirinya terbentuklah
suatu pengertian secara singkat di fikiran setiap orang. Bila seseorang menyebut
kalimah tersebut maka pengertian itulah yang dimaksudkan olehnya; dan begitu juga
bila seseorang mendengar ianya disebut maka yang segera terlintas di fikirannya ialah
pengertian yang sempit itu juga, sedangkan makna dan ertinya yang tepat dan padat
masih lagi kabur di kalangan golongan terpelajar, apa lagi di kalangan golongan awam
yang jahil.

Sepeda Termahal di Dunia

1. Aurumania’s Gold Bike Crystal edition

Sepeda ini bisa dibilang termahal. Hampir semua bagian dilapisi emas 24 karat hingga sampai ke spokes. Handlebar grip dan sadle dilapisi kulit berkualitas tinggi juga dihiasi 600 butir kristal Swarovski. Sepeda ini di banderol US $ 144.464.



Enam Motor Termahal di Dunia

1.Dodge Tomahawk V10 Superbike

Harga: 550.000 dollar AS (Rp 6.051.650.000)
Diperkenalkan pada 2003 oleh DaimlerChrysler. Waktu itu, tidak disebutkan harganya. Namun, media memperkirakan 250.000 dollar AS. Pasalnya, biaya produksi per unit 200.000 dollar AS. Namun allpar.com , situs remis Dodge yang mengutip kantor berita Reuter menginformasikan, Neiman Marcus membeli 10 unit moge dengan harga satu unit 550.000 dollar AS (Rp 6.051.650.000).

Untuk mesin, tak ada yang bisa mengalahkannya. Kapasitas total mesin 8,3 liter yang terdiri dari 10 silinder dengan konfigurasi V. Mesin ini dicomot dari supercar Dodge Viper yang dibanggakan Chyrsler pada awal 1990-an.

Diklaim mampu mencapai kecepatan 640 km/jam dengan beratnya total 680 kg. Keunikannya, punya suspensi independen 4-roda. Kedua roda depan dan belakang dipasang tandem sehingga konfigurasi roda-rodanya mirip dengan ATV. Akselerasi 0–96 km/jam hanya 2,5 detik (ada yang memperkirakan di bawah 2 detik). Dikabarkan motor tidak boleh digunakan di jalan raya umum! Karena itu pula nasib moge ini sekarang tidak begitu jelas.

Tahun lalu muncul tiruannya yang dibuat di China. Mesin yang digunakan 150 cc dan ditawarkan dengan harga 1.400 dollar AS (Rp 15.575.000). Namanya KMD Tron. Kini juga dijual di Amerika dengan harga 1.180 dollar AS atau Rp 13.216.500.


Az-Zubair bin Al-‘Awwam

Semoga Allah meridloinya- merupakan anak dari Sofiyyah binti Abdul Muttaholib, bibi Rasulullah saw, salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, salah seorang dari enam sahabat yang ditunjuk oleh Umar untuk bermusyawarah; untuk memilih diantara khalifah setelah wafatnya, beliau menikah dengan Asma binti Abu Bakar Ash-Shidiq –semoga Allah meridloinya-.

Masuk Islamnya Zubair

Az-Zubair termasuk salah seorang dari 7 orang yang pertama masuk Islam. Ketika pamanya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Az-Zubair telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata kepadanya : “lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini”. Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya : “Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya”.
Suatu hari beliau mendengar isu yang mengabarkan bahwa Muhammad saw telah meninggal, maka dia keluar menuju jalan-jalan di Mekkah sambil menghunuskan pedangnya, dan memecah barisan manusia, lalu pergi mencari kepastian dari isu ini dan berjanji jika isu itu benar dia akan membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah saw, akhirnya beliau bertemu dengan Rasulullah saw di utara Mekkah, maka saat itu Rasulullah saw berkata kepadanya : “ada apakah engkau gerangan ?” dia berkata : “Saya mendengar kabar bahwa engkau telah terbunuh”, nabi berkata kepadanya : “Lalu apa yang akan engkau lakukan?” dia berkata : “Saya akan membunuh orang yang telah membunuhmu”. Setelah mendengar hal tersebut beliaupun bergembira dan mendoakannya dengan kebaikan dan pedanganya dengan kemenangan. (Abu Nu’aim), beliau juga merupakan orang yang pertama menghunuskan pedangnya di jalan Allah.

Zaid bin Haritsah

Zaid bin Haritsah berasal dari kabilah Kalb yang menghuni sebelah utara jazirah Arab. Di masa kecilnya, ia ditangkap oleh sekelompok penjahat yang kemudian menjualnya sebagai seorang budak. Kemudian ia dibeli oleh Hukaim bin Hisyam keponakan dari Khadijah. Oleh Khadijah, ia diberikan kepada Nabi Muhammad yang kemudian memerdekakan Zaid bin Haritsah. Ia adalah salah satu orang yang pertama dalam memeluk agama Islam.
Zaid menjadi sahabat serta pelayan yang setia Nabi Muhammad. Ia menikah dengan Ummi Ayman dan memiliki putra yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ia mengikuti hijrah ke Madinah serta mengikuti setiap pertempuran dalam membela Islam. Dalam Pertempuran Mu'tah, ia diangkat sebagai panglima perang dan dalam Pertempuran Mu'tah inilah, ia mati syahid.

Uwais, pemuda langit yg taat pada ibunya

Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.

Utsman bin Affan

Utsman bin Affan (bahasa Arab: عثمان بن عفان, 574 – 656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun)[1] adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Ia juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur'an.
Ia adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 (selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu.
Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.

Umar bin Khattab

Umar bin Khattab (581 - November 644) (bahasa Arab: عمر بن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin.
Latar belakang

Nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, dilahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil.
Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal, karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul-Aziz , bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid

Salman al-Farisi

Salman al-Farisi (Persia:سلمان فارسی, Arab:سلمان الفارسي) adalah sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Persia. Dikalangan sahabat lainnya ia dikenal dan dipanggil dengan nama Abu Abdullah.
Biografi

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia, sebagai seorang Persia ia menganut agama Majusi, tapi ia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Kemudian ia mengalami pergolakan batin untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya. Pencarian agamanya membawa hingga ke jazirah Arab dan akhirnya memeluk agama Islam.
Ia menjadi pahlawan dengan ide membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam pertempuran khandaq. Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, ia dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga ia wafat.
Salman Al-Farisi

( Perantau Sejati Dalam Mencari Kebenaran )
Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalaman ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan.
Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, dokter-dokter Islam, ahli-ahli astronomi Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam.
Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.
Salman radhiyallahu 'anhu sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.
Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam -- yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)
24.000 orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya.
Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.
Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu!' Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu 'anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.
Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atas usul Salman radhiyallahu 'anhu tersebut.
Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit ...
Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
Salman radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kuat dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti....
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah Maha Besar! aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:
Allah Maha Besar! aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.
Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Sa'ad bin Abi Waqqas

Sa`ad bin Abī Waqqās (abjad Arab: سعد بن أبي وقاص) merupakan salah seorang yang awal masuk Islam dan salah satu sahabat penting Muhammad.
Keluarga

Ia berasal dari klan Bani Zuhrah dari suku Quraisy[1], dan paman Nabi Muhammad dari garis pihak ibu. Ia memiliki putera bernama Umar bin Sa'ad, pemimpin dari pasukan yang membunuh Husain bin Ali pada Peristiwa Karbala. Abdurrahman bin Auf, sahabat nabi yang lain, merupakan sepupu.[2]
Saad lahir dan besar di kota Mekkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang selalu membandingkannya dengan singa muda. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Makkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu.
[sunting]Awal masuk Islam

Suatu hari dalam hidupnya, ia didatangi sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai orang yang ramah. Ia mengajak Sa'ad menemui Nabi Muhammad di sebuah perbukitan dekat Makkah. Pertemuan itu mengesankan Sa'ad yang saat itu baru berusia 20 tahun.
Ia pun segera menerima undangan Nabi Muhammad SAW untuk menjadi salah satu penganut ajaran Islam yang dibawanya. Sa'ad kemudian menjadi salah satu sahabat yang pertama masuk Islam.
Sa'ad sendiri secara tidak langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW. Ibunda rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Karena itu Saad juga sering disebut sebagai Sa'ad of Zuhrah atau Sa'ad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Sa'ad-Sa'ad lainnya.
Namun keislaman Saad mendapat tentangan keras terutama dari keluarga dan anggota sukunya. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibunda Sa'ad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, namun ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Sa'ad kembali ke agama lamanya. Namun Sa'ad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.
Mendengar kekerasan hati Sa'ad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan dan keteguhan iman Sa'ad bin Abi Waqqas. Di masa-masa awal sejarah Islam, kaum Muslim mengungsi ke bukit jika hendak menunaikan salat. Kaum Quraisy selalu mengalangi mereka beribadah.
Saat tengah salat, sekelompok kaum Quraisy mengganggu dengan saling melemparkan lelucon kasar. Karena kesal dan tidak tahan, Sa'ad bin Abi Waqqas yang memukul salah satu orang Quraisy dengan tulang unta sehingga melukainya. Ini menjadi darah pertama yang tumpah akibat konflik antara umat Islam dengan orang kafir. Konflik yang kemudian semakin hebat dan menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran umat Islam.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar menghadapi orang Quraisy seperti yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur'an Surah Al-Muzzammil ayat 10. Cukup lama kaum Muslim menahan diri. Baru beberapa dekade kemudian, umat Islam diperkenankan melakukan perlawanan fisik kepada para orang kafir. Di barisan pejuang Islam, nama Sa'ad bin Abi Waqqas menjadi salah satu tonggak utamanya.
Ia terlibat dalam Pertempuran Badar bersama saudaranya yang bernama Umair bin Abi Waqqas yang kemudian syahid bersama 13 pejuang Muslim lainnya. Pada Pertempuran Uhud, bersama Zaid, Sa'ad terpilih menjadi salah satu pasukan pemanah terbaik Islam. Saad berjuang dengan gigih dalam mempertahankan Rasulullah SAW setelah beberapa pejuang Muslim meninggalkan posisi mereka. Sa'ad juga menjadi sahabat dan pejuang Islam pertama yang tertembak panah dalam upaya mempertahankan Islam.
Sa'ad juga merupakan salah satu sahabat yang dikarunai kekayaan yang juga banyak digunakannya untuk kepentingan dakwah. Ia juga dikenal karena keberaniannya dan kedermawanan hatinya. Sa'ad hidup hingga usianya menjelang delapan puluh tahun. Menjelang wafatnya, Sa'ad meminta puteranya untuk mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang Badar. Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini,ujarnya.
[sunting]Memimpin Perang melawan Kekaisaran Persia

Penolakan kaisar Persia membuat air mata Sa'ad bercucuran. Berat baginya melakukan peperangan yang harus mengorbankan banyak nyawa kaum Muslim dan non Muslim.
Kepahlawanan Sa'ad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.
Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar bin Khattab yang menjadi khalifah saat itu, Sa'ad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird.
Untuk mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.
Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa.
Ketika tengah berpikir, Sa'ad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Sa'ad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya' ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Sa'ad berganti pakaian kemudian menunaikan salat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Sa'ad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu.

Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid (Bahasa Arab:خديجة, Khadijah al-Kubra[1]) (sekitar 555/565/570 - 619/623) merupakan isteri pertama Nabi Muhammad. Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za'idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun al-Awwalun.
[sunting]Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Khadijah berasal dari golongan pembesar Mekkah. Kawin dengan Muhammad, ketika berumur 40 tahun, manakala Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal. Beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad.
Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal. Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahawa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat". Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Muhammad.
Ketika Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Muhammad. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Muhammad, yang pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Muhammad ini, sehingga ia tidak mempedulikan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Muhammad mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor nyamuk.
”Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam. Sepanjang hidupnya bersama Muhammad, Khadijah begitu setia menyertainya dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, ia pasti menyiapkan semua perbekalan dan keperluannya. Seandainya Muhammad agak lama tidak pulang, Khadijah akan melihat untuk memastikan keselamatan suaminya. Sekiranya Muhammad khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Muhammad pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Allah mengkaruniakannya 3 orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, dan Fatimah.
Dalam banyak kegiatan peribadatan Muhammad, Khadijah pasti bersama dan membantunya, seperti menyediakan air untuk mengambil wudhu. Muhammad menyebut keistimewaan terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.” Khadijah telah hidup bersama-sama Muhammad selama 24 tahun dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan.
[sunting]Referensi

Ja'far bin Abi Thalib

Ja'far bin Abi Thalib (Arab: جعفر ابن أبي طالب) (dikenal juga dengan julukan Jafar-e-Tayyar) adalah putera dari Abu Thalib (paman dari Nabi Islam Muhammad, dan kakak dari Imam Syi'ah pertama dan Khalifah ke-4 Ali bin Abi Thalib. Ja'far dibesarkan oleh pamannya, Abbas bin 'Abdul Muththalib, karena ayahnya yang miskin dan harus menghidupi keluarga besar.
Terdapat kemiripan antara Ja'far dan Muhammad, baik dalam rupa maupun sifat yang dimiliki. Muhammad memanggil Ja'far, "Bapak orang-orang Miskin", karena ia selalu menolong dan membantu orang miskin dengan semua uang yang dimiliki.
[sunting]Kehidupan awal
Ja'far bin Abi Thalib termasuk golongan awal memeluk Islam, sewaktu kecil dia dalam pengasuhan pamannya yaitu Al-Abbas, begitu juga saudaranya Ali bin Abi Thalib berada dalam pengasuhan Nabi Muhammad, Ja'far bin Abi Thalib menikah dengan Asma bintu Umais.
[sunting]Hijrah ke Habasyah
Ja'far dan istrinya kemudian ikut hijrah kedua ke negeri Habasyah (Ethiopia) kemudian melalui dia raja negeri Habasyah, An-Najasyi yaitu Ashhamad bin Al-Abjar masuk Islam setelah menerima surat dari Nabi Muhammad yang dikirim melalui Amr bin Ummayyah Adh-Dhamary.
Ja'far bin Abi Thalib kembali pulang dari Habasyah sewaktu penaklukan Khaibar dan ikut menuju Khaibar bersama dengan Abu Musa Al-Asyary. Pada tahun ke 8 Hijriyyah, Ja'far bin Abi Thalib ikut perang Mu'tah dan gugur. Selain dia ikut gugur antara lain Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah. Peperangan itu merupakan peperangan pertama umat islam dengan pasukan Romawi.

Syuhada Uhud : Hamzah bin Abdul Muthalib

Pada tahun tiga hijriah, tepatnya di pertengahan bulan syawal, berkecamuklah perang Uhud, antara kaum muslim yang dipimpin oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dengan kaum kuffar Mekkah. Dalam peperangan menegakkan kalimatulhaq ini, banyak dari kalangan shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa salam yang mendapatkan anugerah Syahaadah. Menurut perhitungan ulama sirah, Ibnu Ishaq rahimahullah, tercatat 65 shahabat Rasulullah yang menemui syahid. Peperangan ini disulut oleh kaum musyrikin Mekkah yang ingin menuntaskan dendam kekalahan mereka atas kaum muslimin di perang Badr yang terjadi pada tahun sebelumnya. Adapun pada perang Uhud ini Allah Ta'ala menakdirkan kekalahan bagi kaum muslimin, setelah sebelumnya kemenangan sudah di depan mata.
Berikut ini, sebagian nama nama shahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dari kalangan muhajirin yang menemui syahid tersebut kami ulas secara ringkas. Diadaptasi dari risalah Syuhadaa Uhud alladziina DzakarahumullahuIbnu Ishaq fii Maghaazihi, karya Dr. Muhammad bin Abdullah bin Ghabbaan ash-shubhi, Majallatul-Jami'atil-Islamiyyah, Madinah, KSA, Edisi 124, th XXXVI, 1424 H. Diterjemahkan oleh M Rizal dan M. Ashim. Selamat menyimak.

Hamzah bin Abdul Muthalib

Siapakah beliau ini? Lengkapnya, ia bernama Hamzah Abu 'Amaarah bin 'abdul Muthalib bin Hasyim bin 'abdi Manaaf al Quraisy al Haasyimi, Ibunya bernama Halah binti Wuhaib bin abdu manaf bin Zuhrah. Beliau merupakan paman Nabi Shalallahu alaihi wa salam, sekaligus saudara sepersusuan, serta kerabat dekatnya dari jalur ibu. Dilahirkan dua tahun sebelum Nabi Shalallahu alaihi wa salam. Memeluk Islam pada tahun ke-delapan dari kenabian atau pada tahun ke-enam kenabian setelah nabi memasuki Darul Arqaam, berdasarkan riwayat lain.

Terkenal dengan sebutan Asadullah (singa Allah) dan Sayyidusy-Syuhadaa' (penghulu para syuhada'). Di perang badar beliau berhasil menghempaskan beberapa tokoh musyrikin. Seperti Syaibah bin Rabi'ah, Thu'aimah bin Adi dan 'Utbah bin Rabi'ah. Begitu pula pada perang Uhud. Beliau berhasil menewaskan 30 orang lebih. Sebelum akhirnya gugur di tangan Wahsyi, budak milik Jubair bin Muth'im.

Di dalam kitab shahihnya (Shahihul Bukhari (7/367-368), dengan ringkas), Imam bukhari menyebutkan kisah tentang kesyahidan Hamzah radhiallahu anhu secara rinci, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sang pembunuhnya sendiri, yang akhirnya masuk Islam.

Wahsyi bertutur :
Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu'aimah bin 'adi bin al Khiyar (paman Jubair bin Muth'im) di perang Badr. Majikanku, Jubair bin Muth'im, menawariku :"Jika engkau sanggup membunuh Hamzah, maka engkau merdeka".

Wahsyi melanjutkan kisahnya :
Tatkala orang-orang bergerak pada tahun 'Inin (peristiwa perang Uhud, penamaan 'Inin didasarkan pada sebuah bukit di samping gunung Uhud yang dibatasi dengan sebuah lembah), aku pergi bersama mereka untuk berperang. Ketika mereka telah berbaris rapi, siap memulai peperangan majulah Siba' (dari barisan kaum musyrikin, pent), seraya sesumbar menyerukan tantangan,"Adakah yang ingin beradu tanding denganku?"

Maka keluarlah Hamzah dan menyahut, "Wahai Siba', anak wanita pemotong kelentit! apakah engkau bersikeras menentang Allah dan RasulNya?". Dengan gesit Hamzah berhasil menghabisinya. (sementara) Aku bersembunyi mengintai Hamzah di balik batu besar. Begitu jangkauan mata tombakku berada pada posisi yang tepat, maka aku lemparkan ke arah perutnya bagian bawah hingga tembus melalui kedua pangkal pahanya. Itulah saat kematiannya.

(pasca keislamanku) Ketika Nabi Shalallahu alaihi wa salam telah wafat, dan kemudian muncul Musailamah al kadzzab, Wahsyi berkata :"aku akan pergi mencarinya, semoga aku bisa membunuhnya sebagai tebusanku atas Hamzah". Dan ia pun pergi ikut mencari musailamah bersama kaum muslimin lainnya.

Tatkala menemukan Musailamah, maka aku lemparkan tombakku tepat mengenai dada Musailamah hingga tembus diantara dua pundaknya. Bersamaan dengan itu seorang Anshar ikut memukulkan pedangnya di kepala Musailamah".

(kembali ke kisah Hamzah di perang Uhud-pen)
Ketika itu, jasad Hamzah radhiallahu anhu sudah dalam keadaan tercincang. Hindun binti 'Utbah telah membelah perutnya, lalu mengeluarkan hatinya dan mengunyahnya, dan memuntahkannya kembali.

Ibnu 'abdil Barr rahimahullah meriwayatkan, "Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wa salam berdiri di hadapan Hamzah yagng telah syahid. Beliau Shalallahu alaihi wa salam menitikkan air mata. dan ketika melihatnya menjadi korban kebiadaban, beliau Shalallahu alaihi wa salam menarik napasnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan hati beliau Shalallahu alaihi wa salam daripadanya. Lalu beliau Shalallahu alaihi wa salam melanjutkan ucapannya :"semoga Allah merahmatimu, wahai paman. Padahal dulu engkau orang yang menyambung tali silaturahim dan banyak melakukan kebajikan".

Hamzah radhiallahu anhu, sang singa Allah ini dikuburkan bersama 'Abdullah bin Jahsy, dalam satu liang lahat.

Hamzah bin Abdul-Muththalib

Hamzah bin Abdul-Muththalib (bahasa arab : حمزه بن عبدالمطلب ) adalah sahabat sekaligus paman dan saudara sepersusuan Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki julukan "Singa Allah" karena kepahlawanannya saat membela Islam.
[sunting]Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Hamzah lahir diperkirakan hampir bersamaan dengan Muhammad. Ia merupakan anak dari Abdul-Muththalib dan Haulah binti Wuhaib dari Bani Zuhrah. Menurut riwayat, pernikahan Abdul-Muththalib dan Abdullah bin Abdul-Muththalib terjadi bersamaan waktunya, dan ibu dari Nabi, Aminah binti Wahab, adalah saudara sepupu dari Haulah binti Wuhaib.
[sunting]Kematian

Hamzah syahid pada Perang Uhud, dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Ethiopia milik Hindun bin Utbah, istri dari Abu Sufyan bin Harb, yang ayahnya dibunuh oleh Hamzah pada Perang Badar. Hindun menjanjikan kebebasan untuk Wahsyi bila ia mampu membalaskan dendam Hindun dengan membunuh Hamzah.

Ali bin Abi Thalib

Syiah
Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.

Sunni
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
[sunting]Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
[sunting]Riwayat Hidup

[sunting]Kelahiran & Kehidupan Keluarga
[sunting]Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,[rujukan?] Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
[sunting]Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
[sunting]Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
[sunting]Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
[sunting]Kehidupan di Madinah
[sunting]Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
[sunting]Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
[sunting]Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
[sunting]Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
[sunting]Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
[sunting]Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
[sunting]Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
[sunting]Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
[sunting]Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
[sunting]Keturunan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keturunan Ali bin Abi Thalib
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[1] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Sosok Kepercayaan Umat dan Berjiwa Bersahaja

Beliau adalah seorang sahabat yang agung; Abu Ubaidah ‘Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah –semoga Allah meridloinya- salah seorang yang diberikan kabar gembira sebagai penghuni surga, dan seorang yang paling dicintai oleh Rasulullah saw, Aisyah pernah ditanya : sahabat manakah yang paling dicintai oleh Rasulullah saw, beliau menjawab : Abu Bakar. Kemudian siapa lagi ? Umar. Kemudian siapa lagi ? Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (At-Turmudzi dan Ibnu Majah).
Dan Rasulullah saw menjuluki beliau dengan “Aminul ummah” (kepercayaan umat); dimana beliau pernah bersabda : “Setiap umat mempunyai orang yang dipercaya, sedangkan kepercayaan umat islam ada pada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah”.
Saat utusan Najran yang berasal dari Yaman datang menghadap Rasulullah saw, mereka meminta diutus orang yang terpercaya untuk mengajarkan kepada penduduk Najran, lalu Rasulullah saw bersabda : “Saya akan utus kepada kalian seorang yang amin (terpercaya) dan benar-benar dipercaya”. maka setiap sahabat yang hadir berharap seorang yang dimaksud adalah dirinya, akhirnya Rasulullah saw memilih Abu Ubaidah, dan bersabda : “Bangunlah engkau wahai Abu Ubaidah”. (Al-Bukhari)
Abu Ubaidah pernah ikut hijrah ka Habsyah kemudian ke Madinah, dan di Madinah Rasulullah saw mempersaudarakannya dengan sa’ad bin Mu’adz- semoga Allah meridloi keduanya-“.
Abu Ubaidah juga tidak pernah tidak ikut berperang bersama Rasulullah saw, beliau sangat terkenal dengan kepahlawanan dan pengorbanan, saat perang Badr berkecamuk Abu Ubaidah melihat bapaknya berada ditengah kaum musyrikin maka diapun menghindar darinya, namun bapaknya berusaha ingin membunuh anaknya, maka tidak ada jalan lain untuk menghindar baginya kecuali melawannya, dan bertemulah dua pedang yang saling berbenturan dan pada akhirnya orang tua yang musyrik mati ditangan anaknya yang lebih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya hingga turunlah ayat : “Kamu tidak aka mnedapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, aanak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridlo terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung”. (QS. Al-Mujadilah : 22)
Saat terjadi perang uhud beliau mencabut dua senjata yang bersarang di dalam topeng penutup kepala yang terbuat dari besi yang memiliki dua sisi di wajah Nabi saw akibat serangan yang menimpanya hingga dua gigi seri patah, namun demikian lubang giginya menjadi baik. (Al-Hakim dan Ibnu sa’ad)
Abu Ubaidah memiliki pengalaman yang sangat cerdas dalam strategi perang dan pemberani, karenanya Rasulullah saw mengangkatnya sebagai komandan dalam berbagai perang gerilya. Pada suatu hari Rasulullah saw mengutusnya sebagai komandan dalam perang gerilya yang disebut saiful bahr dengan pasukan berjumlah 300 orang, namun perbekalan mereka sangat minim, hingga jatah makan mereka hanyalah satu buah kurma dalam sehari, kemudian merekapun berangkat ke laut, dan mereka mendapatkan ombak yang telah menghempaskan hiu yang sangat besar yang mana mereka menyebutnya dangan anbar (hewan laut dari golongan mamalia), maka Abu Ubaidah berkata : “Ini adalah mayit (bangkai)”. Namun kemudian berkata lagi : “bukan, kita adalah utusan dari Rasulullah saw dan berada di jalan Allah, makanlah, maka merekapun memakan daging darinya selama 18 hari. (Muttafaqun alaih)
Umar bin Khattab dalam suatu majlis pernah berkata : “Sebutkanlah cita-cita (obsesi) kalian” salah seorang diantara mereka berkata : “saya bercita-cita memiliki harta yang penuh banyak dirumah ini, sehingga saya bisa menginfakkannya di jalan Allah”. Umar berkata : “sebutkanlah cita-cita (obsesi) kalian”. Salah seorang yang lain berkata : “saya menginginkan se isi ruangan ini menjadi emas sehingga aku bisa menginfakkannya di jalan Allah. Lalu Umar berkata : “Tapi saya bercita-cita orang yang berkumpul diruangan ini menjadi orang seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Muadz bin Jabal dan Hudzaifah bin Al-Yaman, sehingga aku bisa memanfaatkan mereka dalam mentaati Allah SWT”. (Al-Bukhari)
Umar sangat mengetahui kemampuan Abu Ubaidah, sehingga beliau memasukkannya sebagai salah seorang yang dicalonkan menjadi khalifah menjelang akhir hayatnya.
Abu Ubaidah –semoga Allah meridloinya- seorang hamba yang tekun beribadah, kehidupannya dipenuhi dengan sikap qana’ah dan zuhud, suatu kerika Umar masuk ke rumahnya, sedangkan saat itu beliau menjabat sebagai Amir (gubernur) di Syam, namun beliau tidak dapat melihat sesuatu apapun di rumahnya kecuali pedang, tameng dan kendaraanya, Umar lalu berkata : sekiranya engkau mau mengambil harta (sesuatu)?, Abu Ubaid berkata : “Wahai amirul mu’minin, sesungguhnya dengan ini saja sudah cukup bagi kami”. (Abdul Razad dan Abu Nu’aim).
Umar pernah mengirim melalui pembantunya uang sebanyak 400 Dinar, beliau berkata : “Pergilah engkau kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah kemudian tunggulah dalam sejam apa yang diperbuat saat itu”, lalu pembantu itupun berangkat menuju Abu baidah, dan berkata kepadanya; Amirul mu’minin mengirimkan salam untukmu dan pergunakanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu. Lalu Abu Uaidah berkata : semoga Allah menjalin silaturahimnya dan merahmatinya, kemudian berkata lagi : “kemarilah wahai pembantu, pergilah dengan uang 7 dinar ini kepada si Fulan, 5 dinar untuk si Fulan, 5 lagi untuk si Fulan hingga habis”. (Ibnu Sa’ad). Beliau berkata : “Ketahuilah, betapa banyak baju yang putih ternodai karena agamanya, dan betapa banyak orang yang bangga dengan kemuliaan dirinya namun sebenarnya hina ! bersegeralah menghapus keburukan yang lampau dengan kebaikan yang baru (Abu nu’aim dan Ibnu Abdul Bar).
Pada tahun 18 Hijriyah, Umar mengirim bala tentara ke Jordania yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, kemudian tentara tersebut tinggal di ‘Amwas di Jordan hingga terjangkit penyakit kusta saat bala tentara tinggal disana, ketika Umar mendengar hal demikian beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya ; sungguh saya memiliki sesuatu yang sangat penting dan saya membutuhkanmu, maka segeralah menghadap saya. Setelah Abu Ubaidah membaca surat itu, beliau menyadari bahwa yang diinginkan dari Umar menyelamatkan nyawanya dari penyakit kusta tersebut, maka baliau mengingatkan Umar dengan sabda Rasulullah saw : “Penyakit kusta merupakan bagian dari syahadah bagi kaum muslimn”. (Muttafaqun ‘alaih). Lalu beliau menulis surat balasan dan berkata di dalamnya, sesungguhnya saya sudah mengetahui kebutuhanmu, maka saya telah mencari solusi dari kehendakmu itu, sesungguhnya saya seorang prajurit dari pasukan kaum muslimin, saya tidak sudi berpisah dengan mereka. Maka ketika Umar membaca surat beliau langsung menangis, dan dikatakan kepadanya : apakah Abu Ubaidah telah meninggal ?! beliau berkata : “tidak, tapi seakan-akan dia sudah meninggal. (Al-Hakim)
Kemudian Amirul mu’minin kembali menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan kota ‘Amwas ke tempat yang disebut Al-Jabiyah hingga semua pasukan tidak meninggal karenanya, lalu Abu Ubaidahpun mengikuti perintah Amirul mu’minin, namun beliau tetap terserang penyakit kusta, kemudian beliau mewasiatkan kepada Mu’adz bin Jabal untuk memimpin pasukan, dan setelah itu beliau wafat sedang umurnya 58 tahun, beliau disholatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dan dikebumikan di desa Baisan di Syam. Abu Ubaidah meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw sebanyak 14 hadits.

Abu Sufyan

Shakhr bin Harb (bahasa Arab: صخر بن حرب), atau lebih dikenal dengan panggilannya Abu Sufyan bin Harb (bahasa Arab: أبو سفيان بن حرب), adalah salah seorang pemimpin utama Bani Quraisy di Mekkah yang sangat menentang Muhammad, akan tetapi di kemudian hari memeluk agama Islam. Keturunan Abu Sufyan kemudian mendirikan dinasti Umayyah yang memerintah dunia Islam antara tahun 661-750.

Abu Sa’id Al-Khudri

Abu Sa’id Al-Khudri adalah orang ke tujuh yang banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Telah meriwayatkan 1.170 hadits. Orang orang pernah memintanya agar mengizinkan mereka menulis hadits hadits yang mereka dengar darinya. Ia menjawab, “Jangan sekali kali kalian menulisnya dan jangan kalian menjadikan sebagai bacaan, tetapi hapalkan sebagaimana aku menghapalnya”.

Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah

Dia adalah Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah, sedangkan Thalhah sendiri tergolong sahabat yang masuk Islam pertama kali.

Sebelum perang Badar, dia bersama Sa'id bin Zaid telah diutus Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam untuk memata-matai kafilah orang musyrik yang melintas. Mereka berdua hendak melaporkan perihal kafilah kaum musyrik kepada Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, namun Rasulullah telah berangkat ke medan perang Badar bertepatan dengan dengan kepulangan keduanya ke Madinah. Keduanya tidak tahu kalau Nabi Shallallohu 'alaihi wasallam telah berangkat menuju peperangan Badar. Maka keduanya sampai di Madinah pada hari Rasulullah sedang bertemu dengan kaum musyrikin di Badar.

Setelah tahu kalau Rasulullah berperang, keduanya segera menyusul beliau dan para sahabat. Namun keduanya menjumpai Rasulullah telah usai berperang. Akhirnya, Rasulullah memberi bagian harta rampasan perang untuk keduanya. Dengan demikian, keduanya dianggap seperti para sahabat lain yang ikut terjun dalam kancah perang Badar.

Thalhah juga ikut serta dalam perang Uhud bersama-sama dengan Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam. Dia telah menjaga Rasulullah dari serangan musuh sampai kedua jari tangannya terpotong.1) Pada hari itu Thalhah terluka sebanyak 24 luka. Ada yang mengatakan, sebanyak 75 luka. Jenis lukanya ada yang berupa tusukan, pukulan,maupun terkena tombak. Pada waktu perang Uhud itulah Rasulullah menjulukinya sebagai Thalhatul Khair (Thalhah yang baik). Pada waktu perang Dzatul 'Usyairah, Rasulullah menjulukinya sebagai Thalhah Al Fayyadh (Thalhah yang murah hati). Sedangkan pada aktu perang Hunain, Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam menjulukinya sebagai Thalhah Al Jud (Thalhah yang dermawan).

Ciri-ciri Fisik Thalhah

Thalhah adalah seorang laki-laki yang berkulis sawo matang dan berambut lebat, yang tidak berjenis keriting maupun lurus. Dia adalah lelaki yang berwajah tampan, ujung hidungnya ramping, dan tidak merubah warna rambutnya. Semoga Allah meridhai beliau.

Putra-putri Thalhah

Diantara putra Thalhah adalah Muhammad yang mendapat julukan As-Sajjad (orang yang ahli bersujud). As-Sajjad ini telah mati terbunuh bersama-sama dengan Thalhah pada waktu perang Jamal. Putranya yang lain bernama Imran, yang berasal dari istrinya yang bernma Hamnah binti Jahsy; Musa dari istrinya yang bernama Khaulah binti Al Qa'qa; Ya'qub yang mati terbunuh pada waktu perang Harrah; dan putranya yang bernama Ismail. Kedua putranya terakhir ini berasal dari istrinya yang bernama Ummu Kultsum binti Abi Bakar Ash-Shiddiq.

Diantara putranya yang lain adalah Musa dan Yahya yang berasal dari istrinya yang bernama Sa'ad binti 'Aum. Sedangkan diantara putrinya adalah Ummu Ishaq, yang telah dinikahi oleh Hasan bin Ali; Ash-sha'bah dan Maryam, yang berasal dari istrinnya yang merupakan ummu walad. Sedangkan putranya yang lain adalah Shalih, yang berasal dari istrinya yang bernama Al-Fari'ah.

Sisi Kehidupan Thalhah

Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu perang Uhud, “Thalhah berhak mendapatkan pahala dan Surga Allah ketika dia telah melakukan sesuatu terhadap Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam.” Maksudnya, ketika dia bersimpuh untuk Rasulullah sehingga beliau menaiki punggungnya. (Ketika itu Rasulullah hendak menaiki sebuah batu besar dan tidak berhasil untuk naik karena posisinya yang terlalu tinggi. Maka Thalhah sengaja bersimpuh untuk dijadikan tumpuan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam —penerj.). (HR.Imam Ahmad)

Dari Aisyah radhiyallahu'anha, dia berkata, Jika Abu Bakar radhiyallahu an'hu teringat pada waktu perang Uhud, maka dia berkata, ' Hari itu adalah milik Thalhah semuanya'.”

Abu Bakar radhiyallahu an'hu berkata, “Aku adalah orang yang pertama kali hadir pada waktu perang Uhud (telah usai). Lalu Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku dan juga kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah, 'Hendaklah kalian berdua (mengurusnya)'. Yang dimaksud Nabi adalah mengurus Thalhah yang telah banyak mengeluarkan darah. Maka kami mengurus luka Nabi Shallallohu 'alaihi wasallam terlebih dahulu dan baru setelah itu mendatangi Thalhah. Ternyata, dia terluka sebanyak 70 luka atau lebih. Luka itu ada yang berupa tikaman, pukulan, maupun lemparan tombak. Bahkan, jarinya ada yang terputus. Maka kami pun merawatnya dengan baik.”2)

Dari Qais, dia berkata, aku telah melihat jari tangan Thalhah terpotong, karena dia melindungi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam pada waktu perang Uhud.”(HR. Bukhari)3)

Dari Musa bin Thalhah, dari Ayahnya –Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu'anhu – dia berkata, “Ketika Rasulullah pulang dari perang Uhud, beliau naik keatas mimbar. Lalu Rasulullah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah kemudian membaca ayat berikut ini, 'Dintara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur'. (QS. Al Ahzaab (33):23) Maka, ada seorang laki-laki yang berdiri sambil berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakah mereka yang dimaksud dalam ayat itu?” Lalu aku beserta Ali datang sambil memberikan dua buah pakaian berwarna hijau. Maka Rasulullah bersabda, 'Wahai sang penanya, inilah salah satu dari mereka'.”

Dari Sa'da binti Auf, dia berkata, “Thalhah datang kepadaku dan ketika itu aku melihatnya sedang murung. Maka aku bertanya, 'Ada apa dengan Anda?' Thalhah menjawab, 'Harta milikku telah banyak sehingga membuatku merasa gundah'. Aku berkata, 'Mengapa Anda bingung? Bagikan saja harta tersebut!' Maka, Thalhah membagikan harta tersebut sampai tidak tersisa sedirham pun.”

Thalhah bin Yahya berkata, “Aku bertanya kepada bendahara Thalhah, 'Berapa jumlah harta milik Thalhah?' dia menjawab, '400 ribu'.

Dari Al Hasan, dia berkata, “Thalhah pernah menjual sebidang tanah seharga 700.000. Uang sebanyak itu dia simpan pada malam harinya. Ternyata dia sulit untuk tidur pada malam itu disebabkan uang tersebut. Maka, pada apagi harinya dia membagikan semua uang tersebut.”(HR. imam Ahmad)4)

Dari Al Hasan bahwa Thalhah bin Ubidillah telah menjual tanahnya yang berasal dari Utsman seharga 700.000. Maka, Thalhah membawa uang penjualan tanah itu kepada Utsman sambil berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang bermalam dengan membawa harta ini. Dia tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan dia takut terpedaya dari Allah. Maka, maka malam harinya beberapa orang utusan orang itu menyebar di lorong-lorong kota Madinah, sehingga pada waktu sahur dia tidak lagi memiliki uang walau sedirham.”

Wafatnya Thalhah

Thalhah mati terbunuh pada waktu perang Jamal,5) tepatnya pada hari Kamis tanggal 10 Jumadil Akhir 36 H. Ada yang mengatakan bahwa ada sebuah anak panah dari arah barat yang bersarang dilehernya. Lalu Thalhah berkata, ”Bismillah, sesungguhnya takdir Allah adalah sesuatu yang telah ditetapkan.”

Ada juga yang menyebutkan bahwa orang yang membunuhnya adalah Marwan bin Al Hakam. Jenazahnya dimakamkan di Bashrah. Thalhah meninggal dunia pada usia 60 tahun. Namun ada juag pendapat yang mengatakan bahwa usianya ketika meninggal dunia adalah 62 atau 64 tahun. 6)

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (3724 dan 4063).
2) Al Hafizh berkata, “Disebutkan sebuah riwayat dalam kitab Musnad Ath-Thayalisi yang berasal dari hadits Aisyah, dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata, 'Kemudian kami menghampiri Thalhah seusai perang Uhud. Kami menjumpainya terluka sebanyak 70 lebih. Bahkan, jarinya ada yang terpotong'.” Di dalam kitab Al Jihad karya Ibnu Al Mubarak disebutkan riwayat yang berasal dari jalur Musa bin Thalhah bahwa jari telunjuk Thalhah terpotong. Disebutkan keterangan dari Ya'qub bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, dari ayahnya,dia berkata, “Jari kelingking sebelah kiri milik Thalhah terpotong mulai dari pangkal persendiannya, Ketika itu dia telah menjadi tameng bagi Nabi Shallallohu 'alaihi wasallam.” Lihat kitab Al Fath (VII/102-104).
3) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (3724 dan 463).
4) Al Hafizh berkata, “Al Humaidi meriwayatkan di dalam kitab Al Fawa'id dari riwayat Qais bin Abi Hatim, dia berkata, “Aku pernah menemani Thalhah bin Ubaidillah. Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih banyak mengumpulkan harta tanpa meminta-minta melebihi dia.” Al Hafizh tidak memberikan komentar terhadap riwayat ini. Menurutnya, hadits ini berkualitas hasan.
5) Al Hafizh rahimahullahu Ta'ala berkata, “Ath-Thabari telah meriwayatkan di dalam kitab Al Fawa'id dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia berkata, 'Ibunda Abu Bakar, ibunda Utsman, ibunda Thalhah, dan ibunda Abdurrahman bin Auf telah menyatakan diri mereka muslimah'. Thalhah mati terbunuh pada waktu perang Jamal, tepatnya pada tahun 36H. Dia mati karena terkena anak panah. Telah disebutkan dari beberapa jalur riwayat bahwa Marwan bin Al Hakam adalah orang yang telah memanah Thalhah, lalu bidikannya itu mengenai lutut Thalhah. Luka karen bidikan anak panah itu terus mengalirkan darah sampai akhirnya Thalhah menghembuskan nafasnya yang terakhir.Pada hari itu, dia orang yang pertama kali terbunuh. Sedangkan usia wafatnya sendiri masih diperselisihkan para ulama…Lihat kitab Al Fath (VI/102).

Abu Darda

Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
“Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’”(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.
Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah.” Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.
“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah SAW dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, “Orang ini jatuh ke dalam dosa besar.”
Kata Abu Darda, “Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu!”
Kata Abu Darda, “Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya.”
Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata kepadanya, “Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”
Jawab Abu Darda, “Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah SWT menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala.”
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu Darda mengampiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadist yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadist apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq

"Abu Bakar" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Abu Bakar, lihat Abu Bakar (disambiguasi).
Abu Bakar (bahasa Arab: أبو بكر الصديق, Abu Bakr ash-Shiddiq) (lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama Khulafaur Rasyidin pada tahun 632. Ia bernama asli Abdullah bin Abi Quhafah.
Kehidupan sebelum Muhammad

Abu Bakar dilahirkan di Mekkah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraish. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
[sunting]Nama
Abu Bakar ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar'), sehingga ia lebih dikenal dengan nama '"Abu Bakar ash-Shiddiq"
Nama lengkapnya adalah 'Abd Allah ibn 'Uthman ibn Amir ibn Amru ibn Ka'ab ibn Sa'ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka'ab ibn Lu'ai ibn Ghalib ibn Fihr al-Quraishi at-Tamimi'
[sunting]Era bersama Nabi

Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Muhammad saw. pindah dan hidup dengannya. Pada saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sama seperti rumah Khadijah, rumahnya juga bertingkat dua dan mewah. Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli berdagang.
[sunting]Memeluk Islam
Istrinya Qutaylah bint Abd-al-Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Um Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya kecuali 'Abd Rahman ibn Abi Bakar menerima Islam. Sehingga ia dan 'Abd Rahman berpisah.
Masuknya Abu Bakar berpegaruh besar dalam Islam. Teman - teman dekatnya diajak untuk masuk Islam. Mereka yang masuk Islam karena diajak oleh Abu Bakar adalah :
Utsman bin Affan (yang akan menjadi Khalifah ketiga)
Al-Zubayr
Talhah
Abdur Rahman bin Awf
Sa`d ibn Abi Waqqas
Umar ibn Masoan
Abu Ubaidah ibn al-Jarrah
Abdullah bin Abdul Asad
Abu Salma
Khalid bin Sa`id
Abu Hudhaifah bin al-Mughirah
[sunting]Penyiksaan oleh Quraisy
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
[sunting]Menjadi Khalifah

Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.sementara muslim syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
[sunting]Perang Ridda

Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
[sunting]Ekspedisi ke utara

Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
[sunting]Qur'an

Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran Al-quran dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
[sunting]Kematian

Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah pada usia 63 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah Aishah di dekat masjid Nabawi, di samping makam Rasulullah SAW.

Abu Ayyub Al-Anshari

Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia ini bernama Khalid bin Zaid bin Kulaib, dari Bani Najjar. Julukannya adalah Abu Ayyub Al-Anshari.

Siapa gerangan muslim yang tidak mengenal Abu Ayyub Al-Anshari?

Allah mengharumkan namanya di Timur dan di Barat dan mengangkat derajatnya di atas makhluk-makhlukNya yang lain ketika Dia memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara bagi Nabi mulia yang baru berhijrah ke Madinah. Menginapnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah yang teramat indah untuk dikenang kembali.

Betapa tidak. Saat itu Nabi tiba di Madinah dengan dielu-elukan oleh seluruh penduduk. Semua mata memandanginya dengan penuh kerinduan seolah memandang sang kekasih hati. Mereka semua membuka pintu-pintu rumah, berharap Nabi mulia itu sudi menginap di tempat mereka.

Tetapi Rasulullah ternyata tinggal di sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah, yaitu desa Quba'. Disini beliau membuat masjid pertama yang dibangun di atas dasar taqwa.

Kemudian beliau menunggangi ontanya keluar. Para pemimpin kota Yatsrib berusaha agar beliau mau berhenti. Masing-masing ingin mendapat kehormatan dijadikan tempat menginap oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menghalang-halangi jalannya onta tunggangan beliau dan memohon-mohon, “Tinggallah di rumah saya beserta seluruh perlegkapan Anda, wahai Rasulullah. Kami akan menjamin keselamatan Anda.”

Rasulullah berkata, “Biarkanlah onta ini berjalan sekehendaknya karena dia diperintah oleh Allah.”

Onta itu terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Bila dia melewati satu rumah, maka pemiliknya merasa pupus harapan untuk bisa menjadi tuan rumah bagi Rasulullah. Sebaliknya pemilik rumah-rumah berikutnya menanti dengan harap-harap cemas akankah rumah mereka dipilih oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Namun si onta terus saja berjalan. Orang-orang pun mengikutinya dengan penasaran. Akhirnya sampailah dia disuatu tanah kosong di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah dia berhenti dan duduk.

Tapi Rasulullah tidak segera turun. Tak lama kemudian memang si onta bangkit dan berjalan kembali. Rasulullah melepaskan tali kendalinya. Belum jauh berjalan, dia berbalik dan duduk di tempat semula.

Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari. Dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang bawaan beliau. Rasanya dunia seisinya terkumpul di rumahnya….

Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Dia bermaksud mengosongkan barang-barangnya di lantai atas agar bisa di tempati oleh Rasulullah. Namun Rasulullah memilih tinggal di lantai bawah sehingga Abu Ayyub menuruti saja kehendak beliau.

Ketika malam, Rasulullah beranjak ke peraduannya, sementara Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas. Setelah menutup pintu, berkatalah Abu Ayyub, “Istriku, apa yang kita lakukan ini? Rasulullah berada di bawah dan kita di atasnya? Patutkah hal seperti ini? Kita berada di antara nabi dan wahyu yang akan turun kepada beliau!

Semalaman kedua suami istri ini gelisah dan tak tahu yang harus dilakukan. Mereka menyingkir dari tengah-tengah ruangan yang diperkirakan Rasulullah tidur di bawahnya. Bila hendak pergi ke sisi ruangan yang lain, mereka berjalan menempel dinding karena tak ingin berjalan di atas Rasulullah.

Pagi harinya Abu Ayyub berterus terang kepada Rasulllah, “Wahai Rasulullah, demi Allah semalam suntuk saya tidak dapat memejamkan mata, demikian pula dengan ummu Ayyub.”

Nabi bertanya, “Apakah sebabnya, wahai Abu Ayyub?”

“Saya teringat betapa saya berada di atas sedangkan Anda di bawah. Bila saya bergerak, maka debu-debu akan rontok dari atas dan mengganggu Anda. Di samping itu saya berada di antara wahyu dan Anda.”

Rasulullah menenangkannya, “Tenanglah, Abu Ayyub. Sesungguhnya aku merasa lebih enak berada di bawah, karena nantinya tentu banyak tamu yang berdatangan.”

Berkisahlah Abu Ayyub:

Aku mengikuti pilihan Rasulullah. Tapi pada suatu malam yang amat dingin, kendi air minum kami terjatuh dan airnya membasahi lantai. Sedangkan satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengelapnya hanya selimut yang kami pakai. Maka tanpa pikir panjang kami segera mengepel air tumpahan tersebut dengan selimut sebelum terlanjur menetes ke bawah dan mengenai Rasulullah.

Keesokan harinya aku mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, benar-benar saya tidak bisa tinggal di atas Anda.” Kuceritakan soal kendi yang pecah itu. Beliau akhirnya menerima alasanku dan bersedia pindah ke atas, sedangkan aku dan Ummu Ayyub turun ke lantai bawah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama sekitar tujuh bulan, yaitu sampai masjid di atas tanah yang diduduki onta beliau selesai dibangun. Selanjutnya beliau dan para istrinya tinggal di bilik-bilik di sebelah masjid. Beliau menjadi tetangga Abu Ayyub, tetangga yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan dan keutamaan.

Abu Ayyub mencintai Rasulullah dengan cinta yang menyita segenap akal dan hatinya. Rasulullah juga mencintai Abu Ayyub dengan cinta yang menghapuskan dinding pemisah antara Abu Ayyub dan dirinya karena Rasulullah menganggap rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.

Berkisah Ibnu Abbas:

Pada suatu siang yang terik Abu Bakar keluar dari rumahnya menuju ke masjid. Umar melihat lalu menyapanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang menyebabkan Anda keluar rumah pada siang seterik ini?”

Jawab Abu Bakar, “Aku tidak akan keluar rumah kalau tidak didorong oleh rasa lapar yang menggigit.”

Umar menimpali, Aku pun demi Allah tidak keluar kecuali karena sebab yang sama.”

Saat mereka berdua bercakap-cakap, Rasulullah datang seraya bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian keluar rumah pada saat sepanas ini?”

Keduanya menjawab, “Demi Allah, perut yang perih karena laparlah yang memaksa kami keluar.”

Kata Nabi, “Demi jiwaku ditanganNya, tidak ada pula yang mengeluarkan diriku dari rumah kecuali itu juga. Mari ikutlah aku.”

Mereka bertiga berjalan sampai di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Setiap hari Abu Ayyub memang biasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Bila pada waktu-waktu makan beliau tidak juga datang, baru Abu Ayyub memperbolehkan keluarganya memakannya.

Ummu Ayyub membuka pintu lalu mengucapkan salam, “Selamat datang, wahai Nabi dan saudara-saudara.”

Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?”

Saat itu Abu Ayyub sedang mengurus pohon kurmanya disamping rumah. Mendengar suara Nabi, dia segera menyongsong, “Selamat datang, wahai Rasulullah dan saudara-saudara.” Lanjutnya, “wahau Nabiyullah, bukan kebiasaan anda datang pada waktu-waktu seperti ini.”

Nabi membenarkan, “Engkau benar.”

Abu Ayyub kemudian memotong setandan kurma yang berisi tamar, rutab, dan busr (rutab adalah kurma telah masak, sedangkan busr adalah yang masih seperti masak).

Rasulullah berkata, janganlah engkau memotong tandan yang begini. Sebaiknya ambillah tandan yang sudah sempurna.

Kata Abu Ayyub, “Wahai Rasulullah, saya ingin Anda makan tamarnya, rutab-nya, serta busr-nya juga. Saya pun akan menyembelih kambing untuk Anda.”

Pesan Rasulullah, “Janganlah engkau menyembelih kambing yang sudah mengeluarkan susu.”

Abu Ayyub memilih seekor anak kambing yang berumur setahun. Setelah menyembelihnya, dia berkata kepada istrinya. “Buatlah adonan untuk roti, engkau lebih mengerti cara membuat roti. Untuk kambingnya, masaklah yang separuh dan bakarlah separuh lainnya.”

Setelah masak, roti, kuah, dan kambing segera dihidangkan. Rasulullah mengambil sepotong daging dan menaruhnya didalam roti seraya berkata, “Wahai Abu Ayyub, tolong antar roti dan daging ini kerumah Fathimah. Dia juga beberapa hari tidak makan sesuatu.”

Setelah mereka semua kenyang, Nabi berkata, “Roti, daging, tamar, busr,dan rutab. “Kedua mata beliau berlinangan ketika melanjutkan, “demi jiwaku di tangan-Nya, inilah yang disebut nikmat, yang akan kalian pertanggungjawabkan kelak pada hari kiamat. Bila kalian menghadapi hidangan seperti ini dan akan menyantapnya, bacalah basmalah. Bila sudah kenyang ucapkan: ”Alhamdulillahiladzi huwa asba'anaa wa an'ama 'alaina fa afdhala (Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan sampai kenyang dan memberi karunia sebaik-baiknya).”

Rasululah lalu bangkit dan berpesan kepada Abu Ayyub, “Besok datanglah ketempatku.”

Sudah menjadi tabiat luhur Rasulullah bahwa tak seorang pun berbuat baik kepada beliau kecuali segera dibalas dengan kebaikan yang lain. Namun kelihatannya Abu Ayyub tidak mendengar kata-kata beliau sehingga Umar merasa perlu mengulangi, “Nabi meminta Anda datang kepada beliau besok pagi.”

Abu Ayyub segera berkata, “Saya akan datang besok, ya Rasulullah.”

Keesokan harinya pergilah Abu Ayyub ke tempat Rasulullah. Beliau ternyata menghadiahinya seorang pembantu rumah tangga seraya berpesan, “Perlakukanlah anak ini dengan baik di rumahmu, Abu Ayyub. Kami tidak pernah mendapati pada dirinya selain sesuatu yang baik selama di rumah ini.

Abu Ayyub pulang pulang bersama anak belia itu. Ummu Ayyub keheranan melihatnya, maka ia berkata, “Untuk siapa anak ini, Abu Ayyub?”

Jawab Abu Ayyub, “Untuk kita. Hadiah dari Rasulullah.” “Sebuah hadiah yang paling berharga,” komentar Ummu Ayyub.

Abu Ayyub melanjutkan, “Beliau berpesan agar kita memperlakukan anak ini sebaik-baiknya.”

Ummu Ayyub berpikir-pikir, “Kebaikan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya untuk melaksanakan pesan Rasulullah itu?”

Kedua suami-istri itu terdiam beberapa saat sampai akhirnya Abu Ayyub berkata, “Demi Allah aku tidak mungkin melaksanakan pesan itu lebih baik daripada memerdekakan anak ini.”

“Engkau telah mendapat petunjuk kebenaran! Engkau mendapatkan taufik!” Ummu Ayyub kegirangan.

Anak kecil itu pun dimerdekakan oleh mereka ….

Rangkaian kisah diatas adalah mengenai kehidupan Abu Ayyub Al-Anshari dalam suasana damai. Bila Anda sempat mengetahui sebagian hidupnya dalam peperangan, niscaya Anda akan menjumpai hari-hari yang menakjubkan.

Sepanjang hidupnya, Abu Ayyub adalah seorang mujahid, seorang pejuang yang aktif. Dia bahkan tidak pernah ketinggalan dalam seluruh perang muslimiin sejak masa Rasulullah hingga masa Muawiyah kecuali bila disibukkan oleh suatu tugas.

Perang terakhir yang diikutinya adalah penaklukan Konstantinopel. Muawiyah saat itu mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Yazid. Pada masa itu Abu Ayyub adalah seorang lanjut usia berumur delapan puluhan. Dia tidak mau ketinggalan ikut berperang di bawah panji-panji Yazid dan turut menerjang gelombang musuh sebagai seorang pejuang.

Namun Abu Ayyub tak mampu lama-lama bertempur. Dia menderita sakit yang mengharuskannya untuk beristirahat. Yazid sebagai panglima menjenguk dan bertanya, “Adakah anda memerlukan sesuatu, Abu Ayyub?”

Dia menjawab, “Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin…”

Abu Ayyub juga berpesan agar pasukan terus maju kedaerah musuh dan membawanya bersama mereka. Bila nanti dia wafat di medan perang, hendaknya jenazahnya dibawa dan dimakamkan dibawah dinding batu konstantinopel.

Tak lama setelah itu, Abu Ayyub pun wafat.

Pasukan muslimin melaksanakan amanat sahabat Rasulullah ini. Mereka terus bertempur dengan gagah berani. Ketika mencapai dinding Konstantinopel mereka memakamkan jenazah Abu Ayyub dibawahnya.

Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Ayyub Al-Anshari. Dia tidak mau mati kecuali diatas punggung beberapa ekor kuda jinak sebagai pejuang. Menyerbu ke tengah medan tanpa mempedulikan bahwa usianya sudah delapan puluh tahun.